Keterangan saksi merupakan informasi atau keterangan yang diperoleh dari seorang atau lebih (saksi) tentang suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Keterangan saksi hanya akan menjadi alat bukti apabila disampaikan di depan persidangan (Pasal 185 Ayat 1KUHAP).
Keterangan seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya (Pasal 185 Ayat 2). Prinsip ini disebut unus testis nulus testis yang artiya satu saksi, bukanlah saksi. Sehingga keterangan seorang saksi tersebut harus didukung oleh alat bukti yang lain lagi misalnya keterangan ahli, petunjuk ataupun keterangan terdakwa.
Keterangan yang diberikan saksi di depan persidangan harus berdasarkan pada apa yang dia lihat, dia dengar dan dia alami sendiri, bukan berdasarkan pendapat, pemikiran, dugaan, atau asumsi dari saksi tersebut.
Apabila saksi memberikan keterangan berdasarkan pendapat ataupun dugaannya sendiri maka keterangan tersebut tidak dapat diterima sebagai suatu pertimbangan hakim atau dengan kata lain, keterangan yang demikian tidak termasuk sebagai alat bukti.
Selanjutnya Pasal 185 Ayat 6 KUHAP mengatakan, dalam menilai kebenaran keterangan saksi, maka hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
- Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lainnya;
- Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;
- Alasan saksi memberi keterangan tertentu;
- Cara hidup dan kesusilaan dan hal-hal lain yang pada umumnya dapat mempengaruhi apakah keterangan itu dapat dipercaya atau tidak.
Sebelum memberikan keterangannya di muka persidangan, saksi wajib terlebih dahulu disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 160 Ayat 3 KUHAP). Maksudnya, agar saksi memberikan keteranganya dengan jujur/sebenar-benarnya dan berani mempertanggung jawabkan keterangannya itu tidak hanya kepada Hakim (Hukum) namum juga kepada Tuhan.
Jika saksi tidak jujur atau dengan kata lain memberikan keterangan palsu di depan persidangan, ia bisa dituntut pidana berdasarkan Pasal 242 KUHP, ancaman hukumannya 7 (tujuh) sampai 9 (sembilan) tahun penjara.
About The Author
Boris Tampubolon
Boris Tampubolon, S.H. is an Advocate and Legal Consultant. He is also the Founder of Law Firm Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. He made this website with the aim to provide all information related of law, help and defend you in order to solve your legal problem.