Aturan pokok yang umumnya digunakan dalam kasus penodaan agama adalah Undang-Undang No /PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) dan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 1 UU PNPS menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Pasal 156a KUHP[1] menyatakan “Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaa atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Mengingat istilah “penodaan agama” ini begitu populer digunakan, maka saya tertarik membahas mengenai penodaan agama ini. Pertanyaan yang muncul, apa itu penodaan agama? Dan bagaimana penodaan agama dilihat dari sudut pandang Konstitusi dan Hak Asasi Manusia?
Apa itu Penodaan Agama?
Secara Umum penodaan agama diartikan sebagai penentangan hal-hal yang dianggap suci atau yang tidak boleh diserang (tabu) yaitu, simbol-simbol agama/pemimpin agama/kitab suci agama. Bentuk penodaan agama pada umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan terhadap agama-agama yang mapan[2].
Secara hukum, tidak ada definisi atau pengertian yang jelas mengenai penodaan agama. Baik Pasal 1 UU PNPS maupun Pasal 156 a KUHAP (pasal penodaan agama) juga tidak memberikan definisi ataupun penjelasan yang jelas soal penodaan agama.
Hal ini lah yang sering jadi masalah. Tidak adanya definisi yang jelas soal penodaan agama juga bahkan sudah diakui lama dan dinilai menimbulkan persoalan setidaknya oleh Mantan Menteri Agama Surya Dharma Ali.[3]
Pasal Penodaan Agama Tidak Memenuhi Asas Lex Certa dan Melanggar Hak Asasi Manusia
Tidak adanya definisi atau penjelasan yang jelas menurut Undang-Undang membuat pasal penodaan agama ini multitafsir, dan tidak memberikan kepastian hukum (pasal karet).
Padahal di dalam hukum pidana dikenal asas lex certa (bestimmtheitsgebot) yaitu, pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi[4].
Tidak jelasnya konsep penodaan agama dalam peraturan perundang-undangan membuatnya rentan disalahgunakan (misus). Tak jarang pasal penodaan agama ini dijadikan alat untuk membungkam orang-orang maupun debat-debat atau pandangan kritis. Tergatung kepentingan siapa yang muncul paling dominan, sehingga sudah bukan lagi untuk kepentingan penegakan hukum secara adil namun untuk kepentingan-kepentingan yang lain. Di sisi lain, siapapun bisa menjadi korban ketidakadilan dan kriminalisasi dari pasal penodaan agama yang tidak jelas ini.
Di negara-negara lain, kasus penodaan agama juga jadi masalah. Laporan Pelapor khusus PBB tentang kebebasan beragama/kepercayaan menyatakan penodaan agama sering dipakai kelompok-kelompok ekstrimis untuk membungkam debat-debat/pandangan kritis terhadap keagamaan seperti yang terjadi di Jordania, Mesir dan Pakistan. Bahkan penodaan agama dipakai untuk menuduh kelompok-kelompok minoritas mempunyai pandangan/pemikiran yang sesat.[5]
Sehingga menurut saya pasal penodaan agama ini tidak memenuhi asas hukum pidana lex certa dan sudah melanggar hak asasi manusia, khususnya Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Jo Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yaitu hak mendapat kepastian hukum dan keadilan[6].
Apakah Memberikan Penafsiran Berbeda Terhadap Suatu Ajaran Agama atau Ayat Kitab Suci Termasuk Penodaan Agama?
Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, tidak ada definisi yang jelas dan rinci menurut hukum soal penodaan agama. Secara umum, Pasal 1 UU PNPS menunjukan bahwa penodaan agama mencakup penafsiran tentang suatu ajaran agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama mainstream.
Pada prakteknya juga, kebanyakan kasus penodaan agama yang berujung pada vonis pengadilan adalah berkaitan dengan perbedaan penafsiran yang dilakukan seseorang maupun kelompok terhadap suatu ajaran atau ayat kitab suci yang selama ini diajarkan atau diyakini (mainstream).
Dengan kata lain, penafsiran berbeda tersebut dianggap sebagai bentuk penodaan agama. Menurut saya, adanya penafsiran berbeda dari suatu ajaran agama bukan merupakan penodaan terhadap agama. Sebab :
I. Penafsiran adalah hak asasi manusia yaitu hak kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang dijamin dan dilindungi Konstitusi.
Setidaknya ada empat instrumen hukum yang memberi kerangka umum pada kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Pertama, Pasal Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Kedua, Pasal 23 ayat (2) UU HAM. Ketiga, Pasal 18 dan 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM). Keempat, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (UU Sipol).
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Pasal 23 ayat 2 UU HAM
“Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
Pasal 18 DUHAM
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”
Pasal 19 DUHAM
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.”
Pasal 18 ayat (1) UU Sipol
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum tersebut, dapat dipahami bahwa penafsiran adalah bentuk ekspresi, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat sesuai hati nurani dari setiap warga negara yang dijamin dan dilindungi Konstitusi dan sebetulnya menggambarkan kehidupan masyarakat kita yang demokratsi dan ideal.
II. Hak Asasi adalah milik manusia, bukan ide, gagasan, kepercayaan, dan konsep-konsep abasrak lainnya.
Betul bahwa Pasal 19 ayat (3) UU Sipol memberikan batasan untuk menyampaikan pendapat ataupun pikiran.
Pasal 19 ayat (3) UU Sipol
“Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan seesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:
a) Menghormati hak atau nama baik orang lain;
b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum”.
Namun perlu dipahami, dalam konteks hak asasi manusia, hak asasi adalah milik manusia, bukan milik ide, gagasan, gagasan, kepercayaan dan konsep-konsep abstrak lainnya. Sehingga perlu dicatat bahwa agama tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 19 ayat 3 ICCPR ini.[7] mengacu pada ketentuan ini yang dilindungi adalah manusia bukan agama.
III. Penafsiran adalah menafsirkan konsep, bukan menentang konsep.
Dalam konteks ini, penafsiran harus dipahami sebagai aktifitas intepretasi terhadap suatu konsep, bukan menentang konsep. Sebagaimana dikemukakan di atas, penafsiran merupakan hak menyampaikan pendapat, ekspresi ataupun pikiran sesuai keyakinan masing-masing yang dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi dan Instrumen hukum lainnya.
Perlu diketahui tidak ada satu lembaga pun di republik ini yang berwenang memberikan penilaian/ fatwa atau apapun namanya terkait apakah suatu perbuatan itu termasuk penodaan agama atau tidak. Kalaupun ingin mengujinya maka harus diuji di pengadilan yang independent, fair dan imparsial.
Kalaupun ada lembaga yang “seolah” menjadikan dirinya berwenang menyatakan suatu bentuk penafsiran yang berbeda adalah penodaan agama maka sesungguhnya ia telah melakukan penafsiran juga, sehingga tidak tepat jika penafsiran subjektifnya yang belum tentu juga kebenarannya dijadikan dasar untuk menghakimi orang lain.
Lagian sangat diskriminatif dan tak adil jika harus menghukum orang yang punya penafsiran berbeda padahal ia menggunakan hak konstitusionalnya. Perbedaan penafsiran (opini) yang ada seharusnya direspon juga dengan opini bukan dengan kriminalisasi.
Kesimpulan
- Secara hukum, tidak ada definisi atau pengertian yang jelas mengenai penodaan agama sehingga tidak memenuhi atau melanggar asas lex certa dan hak setiap orang mendapatkan kepastian hukum serta keadilan
- Penafsiran yang berbeda bukan merupakan bentuk penodaan agama sebab: a) Penafsiran adalah hak asasi manusia yaitu hak kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang dijamin dan dilindungi Konstitusi, b) Hak Asasi adalah milik manusia, bukan milik ide, gagasan, kepercayaan dan konsep-konsep abstrak lainnya termasuk agama, c) penafsiran adalah aktifitas menafsirkan konsep bukan menentang konsep.
Sumber:
Referensi:
- Pultoni dkk, Panduan Pemantauan Tindak Pidana Penodaan Agama dan Ujaran kebencian, ILRC, Jakarta, 2012.
- Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, 2002.
- Uli Parulian Sihombing, dkk, Ketidakadilan Dalam Beriman: Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia ILRC, Jakarta, 2012.
- Farid Hanggawan, dkk, “Ketika Berekspresi Berbuah Bui Tinjauan Kritis atas Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Negeru Muaro No. 45/Pid/B/2012/PN.MR. dengan Terdakwa Alexander An”, Jurnal keadilan Sosial: Kebebasan Beragama/Kepercayaan, Edisi 03, Jakarta Juli 2013.
Internet:
- http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/04/23/112620-lebih-efektif-definisi-penodaan-agama-perlu-diperjelas diakses tanggal 13 November 2016.
Undang-Undang:
- Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
- Undang-Undang No /PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM)
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
[1] Pasal 156 a KUHP ditambahkan ke dalam KUHAP atas dasar perintah Pasal 4 UU PNPS. Pasal 4 UU PNPS, “Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
[2] Pultoni dkk, Panduan Pemantauan Tindak Pidana Penodaan Agama dan Ujaran kebencian, ILRC, Jakarta, 2012 hlm 44.
[3] http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/04/23/112620-lebih-efektif-definisi-penodaan-agama-perlu-diperjelas diakses tanggal 13 November 2016.
[4] Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, 2002, hlm 50.
[5] Uli Parulian Sihombing, dkk, Ketidakadilan Dalam Beriman: Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia ILRC, Jakarta, 2012, hlm 3.
[6] Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Pasal 3 ayat (2) UU HAM, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”
[7] Farid Hanggawan, dkk, “Ketika Berekspresi Berbuah Bui Tinjauan Kritis atas Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Negeru Muaro No. 45/Pid/B/2012/PN.MR. dengan Terdakwa Alexander An”, Jurnal keadilan Sosial: Kebebasan Beragama/Kepercayaan, Edisi 03, Jakarta Juli 2013, hal 113.
About The Author
Boris Tampubolon
Boris Tampubolon, S.H. is an Advocate and Legal Consultant. He is also the Founder of Law Firm Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. He made this website with the aim to provide all information related of law, help and defend you in order to solve your legal problem.