Sepanjang 2003 hingga 2017, sudah banyak masyarakat mengajukan permohonan Uji Materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait adanya Undang-Undang (UU) ataupun pasal-pasal di dalam UU yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945).
Diantaranya adalah pasal-pasal dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagian pasal yang diuji materi-kan ke MK ada yang ditolak, namun ada juga yang diterima oleh MK sehingga beberapa pasal mengalami perubahan makna yang tentu berdampak pada penerapannya.
Berikut pasal-pasal yang pernah diajukan uji materi ke MK dan putusannya:
1. Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP (Putusan MK No.65/PUU-VIII/2010)
Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”
2. Pasal 83 ayat 2 KUHAP (Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011)
Pasal 83 ayat 2 KUHAP berbunyi: “Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan”
Oleh MK pasal ini dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi.
3. Pasal 80 KUHAP (Putusan MK No. 98/PUU-X/2012)
Pasal 80 KUHAP dinyatakan inkonstitusional sepanjang frase “pihak ketiga yang berkepentingan” tidak dimaknai termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat”.
4. Pasal 244 KUHAP (Putusan MK No. 114 /PUU-X/2012)
Pasal 244 KUHAP berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.
Oleh MK, frase “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
5. Pasal 18 ayat 3 KUHAP (Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013)
Pasal 18 ayat 3 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang frase “segera” tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 hari”.
6. Pasal 268 ayat 3 KUHAP (Putusan MK No. 23/PUU-XI-2013)
Pasal 268 ayat 3 KUHAP berbunyi: “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.”
Oleh MK pasal ini dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi.
7. Pasal 197 ayat 1 dan 2 KUHAP (Putusan MK No. 68/PUU-XI/2013)
Pasal 197 ayat 1 huruf I KUHAP inkonstitusional sepanjang diartikan “surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf I mengakibatkan putusan batal demi hukum”
Pasal 197 ayat 2 KUHAP diubah menjadi “tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
8. Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 dan Pasal 77 KUHAP tentang Bukti Permulaan (Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014)
Frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.
Frase “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.
Frase “bukti yang cukup” dalam Pasal 21 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP”.
Pasal 77 huruf a dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”.
9. Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP (Putusan MK No. 102/PUU-XIII/2015)
Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP inkonstitusional sepanjang frase “suatu perkara sudah dimulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.”
10. Pasal 109 ayat 1 KUHAP (Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015)
Pasal 109 ayat 1 KUHAP inkonstitusional sepanjang frase “penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
11. Pasal 263 ayat 1 KUHAP (Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016)
Pasal 263 ayat 1 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau penegak hukum lainnya untuk mengajukan peninjauan kembali kepada makhkamah agung dan peninjauan kembali oleh pihak selain terpidana dan ahli warisnya tidak batal demi hukum”.
Dengan kata lain, Peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya (Penuntut Umum atau penegak hukum lain tidak dapat mengajukan PK), dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.
12. Pasal 197 ayat 1 KUHAP (Putusan MK No. 103/PUU-XIV/2016)
Pasal 197 ayat 1 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang frase “surat putusan pemidanaan memuat” tidak dimaknai “surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat”.
Sekian semoga bermanfaat.
About The Author
Boris Tampubolon
Boris Tampubolon, S.H. is an Advocate and Legal Consultant. He is also the Founder of Law Firm Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. He made this website with the aim to provide all information related of law, help and defend you in order to solve your legal problem.