Kenapa perjanjian utang piutang ataupun perjanjian lainnya harus dibuat tertulis? Jawabannya adalah untuk kepentingan pembuktian jika dikemudian hari terjadi sengketa antara para pihak yang berjanji.
Perjanjian lisan menurut hukum adalah sah dan mengikat selama memenuhi Syarat Sahnya Perjanjian yakni para pihak sepakat dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Kebanyakan perjanjian lisan dibuat atas dasar kepercayaan.
Kelemahannya, bila debitur (pihak yang berutang) ingkar janji atau bahkan menyangkal tidak pernah membuat perjanjian dan malah berbalik menuduh Kreditur (orang yang memberi pinjaman/utang) mengada-ada, maka dalam hal seperti ini Kreditur akan sulit membuktikan adanya perjanjian utang piutang dengan resiko uangnya hilang.
Kecuali jika ada saksi yang melihat atau mengetahui perjanjian utang piutang itu yang bisa digunakan kesaksiannya sebagai bukti. Tapi dalam pembuktian hukum perdata yang paling utama adalah bukti surat, adapun saksi digunakan jika bukti surat (bukti tertulis) tidak ada (lihat Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 164 HIR/Herzien Inlandsch Reglement).
Namun pembuktian menggunakan saksi ada kelemahannya juga, pertama, alat bukti utama dalam perdata adalah bukti surat, kedua sulit untuk menemukan saksi yang bersangkutan (kalaupun ada saksi) misalnya tak jarang Kreditur kesulitan mencari saksinya, karena saksi yang bersangkutan sudah pindah rumah dan tak diketahui keberadaannya atau karena saksi ini sudah meninggal dunia sehingga keterangan saksi sebagai bukti sebetulnya tidak cukup bisa diandalkan.
Di masyarakat tak jarang ditemukan perjanjian utang piutang tanpa dibuatkan perjanjian tertulis. Padahal jumlah uang yang jadi objek pinjam-meminjam bisa dikatakan cukup besar.
Kalau untuk pinjam meminjam dalam jumlah kecil misal Rp. 10.000,- atau Rp. 50.000,- mungkin masih bisa dilakukan tanpa harus ada perjanjian tertulis/bukti tertulis. Tapi jika nominalnya sudah ratusan ribu apalagi jutaan, seharusnya dibuat dengan perjanjian tertulis dan harus ada saksinya.
Kesimpulan, Pertama, perjanjian utang piutang walaupun bisa dibuat lisan sebaiknya tetap dibuat secara tertulis. Tujuannya untuk menjamin kepastian hukum dan memudahkan dalam membuktikan adanya peristiwa utang piutang.
Kedua, perjanjian utang piutang bisa dibuat dengan akta di bawah tangan (Pasal 1867 KUHPerdata) yaitu para pihak membuat sendiri perjanjiannya dan ditandatangani bersama, biasanya mencantumkan pula tanda tangan saksi-saksinya.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Herzien Indonesis Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Baru (Staatblad 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Staatblad 1941 No. 44)
About The Author
Boris Tampubolon
Boris Tampubolon, S.H. is an Advocate and Legal Consultant. He is also the Founder of Law Firm Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. He made this website with the aim to provide all information related of law, help and defend you in order to solve your legal problem.