Apakah tindakan pengusaha yang tidak mau membayar upah selama skorsing, selanjutnya setelah pembayaran hingga bulan ke-6, dapat dipidanakan meskipun proses PHK telah bergulir ke PHI/MA tetapi belum ada putusan berkekuatan hukum tetap? Terima kasih.
Intisari:
Selama masa skorsing hingga menuju Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) yang ditetapkan berupa putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap, perusahaan tetap wajib membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja atau buruh. Apakah pengusaha dapat dipidana karena tidak membayar upah selama proses skorsing yang mana sekarang proses Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) nya juga masih berproses di pengadilan (belum berkekuatan hukum tetap), hal tersebut belum bisa dilakukan karena harus menunggu putusan pengadilan sampai berkekuatan hukum tetap lebih dulu. Sebab, soal PHK dan menuntut upah yang tidak dibayarkan tentu menjadi kompetensi pengadilan hubungan industrial. Anda dapat meminta sisa upah (masa skorsing) yang tidak dibayarkan tersebut kepada pihak pengusaha melalui gugatan pengadilan yang Anda ajukan. Selanjutnya tinggal menunggu putusan pengadilan (sampai berkekuatan hukum tetap) apakah mengabulkan gugatan Anda atau tidak. Proses di Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) harus diselesaikan lebih dulu sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Adapun setelah proses PHI selesai namun pengusaha tetap saja tidak mau membayarkan hak-hak atau apa yang seharusnya menjadi milik Anda, dan pengusaha juga tidak mau melaksanakan perintah atau putusan hakim, maka Anda bisa menempuh jalur pidana dengan melaporkan pengusaha ke Kepolisian. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Kewajiban Pengusaha Membayar Upah Pekerja Selama Skorsing
Ketentuan mengenai skorsing diatur dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang menyatakan:
“Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengantetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.”
Sementara itu, Pasal 155 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan:
- Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
- Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
Ayat (2) ini tetap berlaku sepanjang frasa ‘belum ditetapkan’ diartikan sebagai ‘belum berkekuatan hukum tetap’[1]
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa selama masa skorsing hingga menuju Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) yang ditetapkan berupa putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap, perusahaan tetap wajib membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja atau buruh.
Dapatkah Pengusaha Dipidana karena Tidak membayar Upah Selama Skorsing?
Terkait pertanyaan Anda, apakah pengusaha dapat dipidana karena tidak membayar upah selama proses skorsing yang mana sekarang proses PHKnya juga masih berproses di pengadilan (belum berkekuatan hukum tetap), menurut hemat kami, hal tersebut belum bisa dilakukan karena harus menunggu putusan pengadilan sampai berkekuatan hukum tetap lebih dulu.
Sebab, soal PHK dan menuntut upah yang tidak dibayarkan tentu menjadi kompetensi pengadilan hubungan industrial.[2] Anda dapat meminta sisa upah (masa skorsing) yang tidak dibayarkan tersebut kepada pihak pengusaha melalui gugatan pengadilan yang Anda ajukan. Selanjutnya tinggal menunggu putusan pengadilan (sampai berkekuatan hukum tetap) apakah mengabulkan gugatan Anda atau tidak. Jika dikabulkan, tentu Anda punya hak untuk meminta eskekusi terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut agar pengusaha segera membayarkan hak-hak Anda sebagaimana putusan pengadilan.
Dari segi pidana, menurut hemat kami langkah pidana baru bisa dilakukan setelah proses di Pengadilan Hubungan Industrial selesai. Apabila setelah ada putusan pengadilan namun pengusaha tidak beritikad baik (atau berniat jahat/sengaja/alpa) dan tetap tidak mau melaksanakan putusan pengadilan atau tidak mau membayarkan/memberikan hak (kepunyaan) Anda, maka tindakan pengusaha tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana Penggelapan sebagaimana dimaksud Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi:
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Selain itu, tindakan pengusaha yang dengan sengaja tidak mau melaksanakan putusan hakim sebagai pejabat yang menurut undang-undang bewenang/bertugas menjatuhkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (perintah undang-undang) tersebut, juga bisa dianggap sebagai tindak pidana dengan sengaja tidak mau melaksanakan perintah undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP, sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda puling banyak sembilan ribu rupiah.”
Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 171), yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah dengan sengaja tidak menaati perintah atau tuntutan pegawai negeri. Perintah atau tuntutan itu harus dilakukan berdasarkan atas suatu peraturan perundang-undangan.
Supaya dapat dihukum, tidak sembarang pegawai negeri, akan tetapi perintah atau tuntutan itu harus dilakukan oleh pegawai negeri yang diwajibkan mengawasi atau menyelidiki atau memeriksa perbuatan yang dapat dihukum.
Pegawai negeri yang dimaksud adalah orang yang diangkat oleh kekuasaan umum untuk menjadi penjabat umum untuk menjalankan sebagian tugas pemerintah, contohnya antara lain: pegawai Kepolisian negara, kepala desa dan para pegawainya, jaksa pada Pengadilan Negeri, dan sebagainya.[3]
Dengan kata lain, proses di Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) harus diselesaikan lebih dulu sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Adapun setelah proses PHI selesai namun pengusaha tetap saja tidak mau membayarkan hak-hak atau apa yang seharusnya menjadi milik Anda, dan pengusaha juga tidak mau melaksanakan perintah atau putusan hakim, maka Anda bisa menempuh jalur pidana dengan melaporkan pengusaha ke Kepolisian.
Tulisan ini adalah tulisan Boris Tampubolon, S.H. sebagaimana dimuat di www.hukumonline.com. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
[1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 yang dibacakan pada 19 September 2011
[2] Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan: “Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”
[3] Catatan pada Pasal 92 dan Pasal 215 KUHP R. Soesilo (hal. 172 dan hal. 100)
About The Author
Boris Tampubolon
Boris Tampubolon, S.H. is an Advocate and Legal Consultant. He is also the Founder of Law Firm Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. He made this website with the aim to provide all information related of law, help and defend you in order to solve your legal problem.