Cara Menafsirkan Kontrak atau Perjanjian Yang Benar Menurut Hukum?
Cara Menafsirkan Kontrak atau Perjanjian Yang Benar Menurut Hukum?
Bagaimana Cara Menafsirkan Kontrak

Sebelumnya kita sudah pernah membahas soal Syarat Sahnya Perjanjian dan Syarat Batalnya Perjanjian. Sekarang kita akan membahas soal Cara Menafsirkan Perjanjian Yang Benar Menurut Hukum.

Salah satu permasalahan yang sering dialami masyarakat dalam hal perjanjian adalah terjadinya perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian (kotrak: red) antara para pihak sehingga menyebabkan perselisihan atau sengketa antara keduanya.

Masing-masing pihak menafsirkan bunyi atau ketentuan di dalam perjanjian tersebut secara berbeda sehingga tidak ada kesuaian antara keduanya.

Sesungguhnya peraturan perundang-undangan Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sudah memberikan pedoman mengenai cara menafsirkan perjanjian atau kontrak yang mungkin masih belum banyak diketahui oleh masyarakat.

Pedoman tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1342- Pasal 1351 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Adapun cara melakukan penafsiran terhadap perjanjian atau kontrak adalah sebagai berikut;.

  1. Jika kata-kata dalam suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan cara penafsiran (dasar hukum, Pasal 1342 KUHPer).

    Pasal ini mengatakan bahwa jika pasal-pasal di dalam perjanjian telah jelas maka para pihak dilarang untuk melakukan penafsiran;

  2. Jika kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka kata-kata tersebut harus ditafsirkan menurut maksud dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut daripada memengang teguh arti kata-kata menurut huruf (dasar hukum, Pasal 1343 KUHPer).

    Misalnya dalam perjanjian jual beli beras dikatakan bahwa “semua yang ada di dalam gudang” sebenarnya yang dimaksud dari kalimat itu adalah semua beras yang ada di dalam gudang. Jadi jika ada barang lain di dalam gudang seperti sepeda atau kursi, maka barang-barang tersebut tidak termasuk dalam cakupan dari “semua yang ada di dalam gudang”;

  3. Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan janji itu dapat dilaksanakan, dari pada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan. (dasar hukum, Pasal 1344 KUHPerdata).

    Pasal ini mengarahkan penafsiran agar perjanjian dapat dilaksanakan dari pada penafsiran yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan;

  4. Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian. (dasar hukum, Pasal 1345 KUHPerdata). 

    Misalnya perjanjian pinjam meminjam uang dengan bunga. Bunga di sini dapat diartikan sebagai kembang dan dapat pula diartikan sebagai rente atau tambahan uang pembayara. Akan tetapi karena perjanjian ini adalah perjanjian pinjam meminjam uang tidak mungkin kata bunga ini ditafsirkan sebagai kembang, tetapi harus ditafsirkan sebagai rente atau tambahan uang pembayaran;

  5. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana perjanjian telah dibuat. (dasar hukum, Pasal 1346 KUHPerdata).

    Misalnya ada perjanian jual beli makanan pokok yang berlokasi di Maluku. Maka dapat dipastikan menurut kebiasaan tempatnya makanan pokok yang dimaksud bukan lah beras melainkan sagu;

  6. Hal-hal menurut yang kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukan dalam persetujuan (dasar hukum, Pasal 1347 KUHPer), meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Misalnya kebiasaan daerah setempat adalah dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian;
  7. Perjanjian yang dibuat tidak dapat ditafsirkan sebagian demi sebagian melainkan harus ditafsirkan sebagai satu keutuhan (dasar hukum, Pasal 1348 KUHPerdata;
  8. Jika ada keragu-raguan maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu (dasar hukum, Pasal 1349 KUHPerdata).

    Dengan kata lain, maksud pasal ini adalah jika suatu perjanjian apabila ditafsirkan akan merugikan salah satu pihak, maka penafsiran harus diarahkan kepada kerugian kreditur dan keuntungan debitur.

Dasar Hukum :

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

About The Author

Boris Tampubolon

Boris Tampubolon, S.H. is an Advocate and Legal Consultant. He is also the Founder of Law Firm Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. He made this website with the aim to provide all information related of law, help and defend you in order to solve your legal problem.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terbaru

Mengembalikan kerugian Negara, Apakah Bisa Menjadi Dasar Mengurangi Hukuman Pidana
Pelanggaran UU dan Merugikan Negara Tidak Bisa Serta Merta Diterapkan UU Tipikor, Ini Penjelasannya
Bolehkan diatur Pemberian Kuasa Di Dalam Perjanjian Fidusia
Akibat Hukum Bila Jaminan Fidusia Tidak Didaftarkan
Apakah Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Perdata Mengikat?
Apakah Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Perdata Mengikat?
divonis-membunuh-empat-pengamen-cipulir-ajukan-pk-ke-pn-jaksel
Novum Dalam Pidana Bukanlah Bukti Baru Tapi Keadaan Baru, Ini Penjelasannya

Video Gallery

Pengacara Dito Mahendra Bakal Ajukan Eksepsi Terkait Senpi Ilegal
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akan melanjutkan sidang terdakwa Dito...

Berita

guru-boris-dan-supritani
Boris Tampubolon: Guru Supriyani Tak Bisa Dipidana Jika Tak Ada Mens Rea
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Praktisi hukum dan juga pengacara, Boris Tampubolon mengatakan, dalam konteks hukum pidana, seseorang...

Buku

buku
STRATEGI MENANGANI DAN MEMENANGKAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN (PERSPEKTIF ADVOKAT)
Para advokat atau praktisi hukum sudah sepatutnya memiliki keahlian penanganan perkara yang mumpuni sehingga dapat...