Sebanarnya tidak sembarangan memproses kasus-kasus yang dianggap penistaan agama sebagaimana diatur Pasal 156A KUHP. Ada syarat-syarat secara hukum yang harus dipenuhi agar kasus dugaan penistaan agama itu bisa diproses.
Syarat hukumnya terdiri dari dua, yaitu pertama, syarat formil dan kedua syarat materil. Berikut penjelasannya:
I. Harus Memenuhi Syarat Formil
Proses hukum baru bisa dilaksanakan setelah adanya peringatan dari Negara.
Bila ada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana penistaan agama, maka berdasarkan Pasal 2 (PNPS/1965), perbuatan tersebut harus terlebih dulu diberi peringatan keras oleh Negara agar yang bersangkutan menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu surat keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri.
Peringatan ini harus dimakanai tindakan Negara untuk memberikan ukuran objektif terhadap suatu perbuatan yang dianggap menodai agama atau tidak.
Bila sudah diperingatkan tapi pihak yang diperingati tersebut tidak menghentikan perbuatannya, maka barulah proses pidana bisa masuk.
Jadi harus dilihat lagi apakah untuk seseorang yang diduga melakukan tindak pidana penistaan agama itu sudah ada peringatan keras dari Negara dalam bentuk surat keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri atau tidak. Bila belum ada peringatan, maka belum bisa seseorang itu dikenakan pasal 156A tentang penodaan agama.
II. Harus Memenuhi Syarat Materil
Secara materil, Seseorang tidak bisa disebut menista agama bila tidak ada niat untuk memusuhi atau menghina.
Hal ini tegas diatur dalam Penjelasan Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/Pnps Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (PNPS/1965) yang menambahkan pasal Pasal 156A di dalam KUHP kita dan menjelaskan bahwa:
“Tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tinak pidana menurut pasal ini.”
Jadi jelas, bila seseorang ditersangkakan dengan menggunakan Pasal penistaan agama 156A KUHP, maka selain secara formil sudah diperingati oleh Negara, maka penyidik juga harus punya minimal 2 alat bukti untuk membuktikan bahwa perbuatan orang tersebut memang diniatkan untuk memusihi atau menghina.
Bila yang ia sampaikan adalah bersifat objektif dalam bentuk pengajaran yang mungkin berbeda penafsiran, bisa dijelaskan secara ilmiah, maka harusnya tidak bisa diterapkan Pasal 156A ini
Jadi berdasarkan uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa kasus dugaan penistaan agama hanya bisa diproses bila memenuhi 2 syarat di atas, yaitu syarat formil harus ada peringatan dulu dari Negara, dan syarat materil harus ada niat dari orang tersebut untuk memusuhi atau menghina agama/ajaran lain.
Bila masih ada yang ingin ditanyakan/dikonsultasikan lebih lanjut atau memerlukan Bantuan/Pendampingan Hukum untuk masalah hukum Anda segera hubungi kami di wa/telp 0812 8426 0882 atau email boristam@outlook.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe &Tampubolon Lawyers (silahkan diklik)
About The Author
Boris Tampubolon
Boris Tampubolon, S.H. is an Advocate and Legal Consultant. He is also the Founder of Law Firm Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. He made this website with the aim to provide all information related of law, help and defend you in order to solve your legal problem.