Para korban Binomo dan Robot Trading masih punya harapan besar untuk mendapat ganti kerugian dari para pelaku (dengan asumsi kasus ini adalah penipuan dan buka perjudian). Jangan sampai terjadi seperti kasus First Travel dimana uang Jemaah (korban) disita untuk negara. Padahal tidak ada uang negara disitu.
Sehingga hemat saya, selaku Advokat dan Pengacara Praktik setidaknya ada 2 cara yang bisa dilakukan oleh para korban, yaitu:
Pertama, menggabungkan gugatan ganti rugi dalam perkara pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 98 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jadi, para korban atau kuasanya mengajukan permohonan kepada hakim atau pengadilan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kedalam perkara pidana yang sedang disidangkan. Permintaan itu hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dimana nanti bila dikabulkan, hakim ketua sidang akan menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam perkara pidana itu dan nanti Jaksa akan memasukan memasukan permohonan gugatan ganti rugi ke dalam berkas perkara.
Bisa dikatakan, penggabungan gugatan ganti kerugian ini merupakan jalan pintas yang bisa dimanfaatkan korban yang dirugikan untuk secepat mungkin mendapatkan pembayaran ganti kerugian.
Kedua, meminta ganti kerugian (restitusi) kepada Pelaku melalui LPSK. Bila pada cara pertama, para korban atau kuasanya langsung meminta ke pengadilan, maka cara kedua ini melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Permohonan ganti kerugian ini bisa diajukan sebelum atau setelah putusan pidana berkekuatan hukum tetap. Pengajuan sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap bisa diajukan korban atau kuasanya ke LPSK, atau penyidik ke LPSK, atau Penuntut Umum ke LPSK. Lalu LPSK akan membuat keputusan mengenai besaran nilai ganti rugi para korban dan memasukan itu ke dalam dakwaan ataupun tuntutan jaksa untuk disidangkan. Sementara bila korban ingin mengajukan ganti rugi setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka para korban atau kuasanya mengajukan permohonan ganti rugi kepada pengadilan secara langsung atau melalui LPSK.
Mekanisme ini didasarkan pada ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi, serta Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
Sebagai tambahan, akan lebih baik bila para korban bisa berkumpul dan mengajukan permohonan penggabungan ganti kerugian dalam perkara pidana atau permohonan restitusi di atas secara bersama-sama, agar lebih efektif dan efisien. Selain itu, kedua cara di atas tentu tidak menghalangi hak para korban untuk juga menempuh ganti kerugian dengan jalur perdata.
Bila masih ada yang ingin ditanyakan/dikonsultasikan lebih lanjut atau memerlukan bantuan hukum silahkan hubungi kami di 0812 8426 0882 atau email boristam@outlook.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe&Tampubolon Lawyers (silahkan diklik)
About The Author
Boris Tampubolon
Boris Tampubolon, S.H. is an Advocate and Legal Consultant. He is also the Founder of Law Firm Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. He made this website with the aim to provide all information related of law, help and defend you in order to solve your legal problem.