Pertama-tama saya ingin sampaikan adalah secara hukum penuntutan itu murni menjadi kewenangan jaksa penuntut umum. Namun tuntutan bukanlah sebuah putusan final. Tuntutan itu hanya merupakan permintaan JPU kepada majelis hakim. Pada akhirnya majelis hakim lah yang memutus. Hakim bisa memutus sesuai tuntutan, lebih, atau bahkan jauh lebih ringan dari tuntutan atau bahkan melepaskan atau membebaskan terdakwa.
Dalam konteks putusan lebih ringan dan/atau putusan lepas terhadap Bharada E, sebenarnya ada 3 alasan yang bisa hakim gunakan, yakni:
I. Bharada E Adalah Justice Collaborator Sehingga Dapat Divonis Paling Ringan Dari Terdakwa Lainnya.
Pasal 10 A ayat 3 UU LPSK intinya menyatakan Saksi Pelaku dapat diberikan antara lain penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Penghargaan atas kesaksian tersebut dapat berupa keringanan penjatuhan pidana. Keringanan penjatuhan pidana mencakup pidana percobaan, pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana yang paling ringan di antara terdakwa lainnya.
Jadi bila hakim berpandangan Bharada E adalah saksi pelaku yang kesaksiannya sudah membantu mengungkap suatu tindak pidana apalagi ia sudah ditetapkan oleh LPSK sebagai justice collaborator maka hakim bisa menggunakan pasal ini untuk memberi putusan yang paling ringan kepada Bharada E dibanding para terdakwa lainnya.
II. Bharada E Menembak Karena Dibawah Tekanan/Daya Paksa
Pasal 48 menyatakan: “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”
Pasal ini adalah alasan pemaaf, berkaitan dengan sikap batin pelaku. Perlu diingat seseorang hanya bisa dipidana bila ada niat jahat (mens rea) dan perbuatan (actus reus). Bisa saja seseorang melakukan perbuatan pidana, tapi bila tidak ada niat jahat tapi karena ia terpaksa melakukan karena berada dibawah tekanan atau daya paksa (baik fisik maupun psikis) maka tidak bisa dipidana.
Jadi bila hakim berpendapat Bharada E melakukan penembakan karena berada dibawah tekanan/daya paksa seorang Ferdi Sambo, artinya sebenarnya tidak ada niat jahat dia untuk menghilangkan nyawa Alm. Brig. Josua maka ia bisa dilepaskan (tidak dipidana).
III. Bharada E Menjalankan Perintah Atasan
Pasal 51 (1) KUHP menyatakan: Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
Pasal 51 (2) KUHP: Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Menurut saya keliru bila perintah jabatan yang tidak bisa dipidana itu adalah perintah jabatan yang harus sesuai aturan, harus sesuai kewenangan atau harus sesuai SOP dan sebagainya. Karena menjadi tidak logis. Bila perintah jabatan itu harus sesuai aturan, atau harus sesuai prosedur/SOP maka tidak akan jadi masalah, semua akan baik-saja. Sehingga tidak relevan pula pasal 51 KUHP itu dibuat.
Justru keberadaan pasal 51 KUHP itu adalah untuk melindungi orang-orang yang berada dalam posisi bawahan, atau anak buah yang tidak berdaya dan tidak bisa melawan terhadap atasan atau komandannya (apalagi di lingkungan kepolisian), apapun perintahnya.
Jadi bila hakim berpendapat Bharada E yang merupakan anak buah yakni polisi berpangkat paling rendah kemudian diperintah oleh seorang jenderal sehingga tidak ada niat jahat (mens rea), motif atau dendam pada dirinya, murni hanya menjalankan perintah maka ia bisa dilepaskan/tidak dipidana.
Bila ada yang perlu didiskusikan lebih lanjut atau memerlukan bantuan/pendampingan hukum segera hubungi kami di wa/telp 0812 8426 0882 atau email boristam@outlook.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe &Tampubolon Lawyers (silahkan diklik)
About The Author
Boris Tampubolon
Boris Tampubolon, S.H. is an Advocate and Legal Consultant. He is also the Founder of Law Firm Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. He made this website with the aim to provide all information related of law, help and defend you in order to solve your legal problem.